Jalannya sudah tertatih-tatih, karena usianya sudah lebih dari 70 tahun, sehingga kalau tidak perlu sekali, jarang ia bisa dan mau keluar rumah. Walaupun ia mempunyai seorang anak perempuan, ia harus tinggal di rumah jompo, karena kehadirannya tidak diinginkan. Masih teringat olehnya, betapa berat penderitaannya ketika akan melahirkan putrinya tersebut. Ayah dari anak tersebut minggat setelah menghamilinya tanpa mau bertanggung jawab atas perbuatannya. Di samping itu keluarganya menuntut agar ia menggugurkan bayi yang belum dilahirkan, karena keluarganya merasa malu mempunyai seorang putri yang hamil sebelum nikah, tetapi ia tetap mempertahankannya, oleh sebab itu ia diusir dari rumah orang tuanya.Selain aib yang harus di tanggung, ia pun harus bekerja berat di pabrik untuk membiayai hidupnya. Ketika ia melahirkan putrinya, tidak ada seorang pun yang mendampinginya. Ia tidak mendapatkan kecupan manis maupun ucapan selamat dari siapapun juga, yang ia dapatkan hanya cemohan, karena telahelahirkan seorang bayi haram tanpa bapa. Walaupun demikian ia merasa bahagia sekali atas berkat yang didapatkannya dari Tuhan di mana ia telah dikaruniakan seorang putri. Ia berjanji akan memberikan seluruh kasih sayang yang ia miliki hanya untuk putrinya seorang, oleh sebab itulah putrinya diberi nama Love - Kasih.


Siang ia harus bekerja berat di pabrik dan di waktu malam hari ia harus menjahit sampai jauh malam, karena itu merupakan penghasilan tambahan yang ia bisa dapatkan. Terkadang ia harus menjahit sampai jam 2 pagi, tidur lebih dari 4 jam sehari itu adalah sesuatu kemewahan yang tidak pernah ia dapatkan. Bahkan Sabtu Minggu pun ia masih bekerja menjadi pelayan restaurant. Ini ia lakukan semua agar ia bisa membiayai kehidupan maupun biaya sekolah putrinya yang tercinta. Ia tidak mau menikah lagi, karena ia masih tetap mengharapkan, bahwa pada suatu saat ayah dari putrinya akan datang balik kembali kepadanya, di samping itu ia tidak mau memberikan ayah tiri kepada putrinya.


Sejak ia melahirkan putrinya ia menjadi seorang vegetarian, karena ia tidak mau membeli daging, itu terlalu mahal baginya, uang untuk daging yang seyogianya ia bisa beli, ia sisihkan untuk putrinya. Untuk dirinya sendiri ia tidak pernah mau membeli pakaian baru, ia selalu menerima dan memakai pakaian bekas pemberian orang, tetapi untuk putrinya yang tercinta, hanya yang terbaik dan terbagus ia berikan, mulai dari pakaian sampai dengan makanan.

Pada suatu saat ia jatuh sakit, demam panas. Cuaca di luaran sangat dingin sekali, karena pada saat itu lagi musim dingin menjelang hari Natal. Ia telah menjanjikan untuk memberikan sepeda sebagai hadiah Natal untuk putrinya, tetapi ternyata uang yang telah dikumpulkannya belum mencukupinya. Ia tidak ingin mengecewakan putrinya, maka dari itu walaupun cuaca diluaran dingin sekali, bahkan dlm keadaan sakit dan lemah, ia tetap memaksakan diri untuk keluar rumah dan bekerja. Sejak saat tersebut ia kena penyakit rheumatik, sehingga sering sekali badannya terasa sangat nyeri sekali. Ia ingin memanjakan putrinya dan memberikan hanya yang terbaik bagi putrinya walaupun untuk ini ia harus bekorban, jadi dlm keadaan sakit ataupun tidak sakit ia tetap bekerja, selama hidupnya ia tidak pernah absen bekerja demi putrinya yang tercinta.

Karena perjuangan dan pengorbanannya akhirnya putrinya bisa melanjutkan studinya diluar kota. Di sana putrinya jatuh cinta kepada seorang pemuda anak dari seorang konglomerat beken. Putrinya tidak pernah mau mengakui bahwa ia masih mempunyai orang tua. Ia merasa malu bahwa ia ditinggal minggat oleh ayah kandungnya dan ia merasa malu mempunyai seorang ibu yang bekerja hanya sebagai babu pencuci piring di restaurant. Oleh sebab itulah ia mengaku kepada calon suaminya bahwa kedua orang tuanya sudah meninggal dunia.

Pada saat putrinya menikah, ibunya hanya bisa melihat dari jauh dan itupun hanya pada saat upacara pernikahan di gereja saja. Ia tidak diundang, bahkan kehadirannya tidaklah diinginkan. Ia duduk di sudut kursi paling belakang di gereja, sambil mendoakan agar Tuhan selalu melindungi dan memberkati putrinya yang tercinta. Sejak saat itu bertahun-tahun ia tidak mendengar kabar dari putrinya, karena ia dilarang dan tidak boleh menghubungi putrinya. Pada suatu hari ia membaca di koran bahwa putrinya telah melahirkan seorang putera, ia merasa bahagia sekali mendengar berita bahwa ia sekarang telah mempunyai seorang cucu. Ia sangat mendambakan sekali untuk bisa memeluk dan menggendong cucunya, tetapi ini tidak mungkin, sebab ia tidak boleh menginjak rumah putrinya. Untuk ini ia berdoa tiap hari kepada Tuhan, agar ia bisa mendapatkan kesempatan untuk melihat dan bertemu dengan anak dan cucunya, karena keinginannya sedemikian besarnya untuk bisa melihat putri dan cucunya, ia melamar dengan menggunakan nama palsu untuk menjadi babu di rumah keluarga putrinya.

Ia merasa bahagia sekali, karena lamarannya diterima dan diperbolehkan bekerja disana. Di rumah putrinya ia bisa dan boleh menggendong cucunya, tetapi bukan sebagai Oma dari cucunya melainkan hanya sebagai babu dari keluarga tersebut. Ia merasa berterima kasih sekali kepada Tuhan, bahwa ia permohonannya telah dikabulkan.

Di rumah putrinya, ia tidak pernah mendapatkan perlakuan khusus, bahkan binatang peliharaan mereka jauh lebih dikasihi oleh putrinya daripada dirinya sendiri. Di samping itu sering sekali dibentak dan dimaki oleh putri dan anak darah dagingnya sendiri, kalau hal ini terjadi ia hanya bisa berdoa sambil menangis di dlm kamarnya yang kecil di belakang dapur. Ia berdoa agar Tuhan mau mengampuni kesalahan putrinya, ia berdoa agar hukuman tidak dilimpahkan kepada putrinya, ia berdoa agar hukuman itu dilimpahkan saja kepadanya, karena ia sangat menyayangi putrinya.

Setelah bekerja bertahun-tahun sebagai babu tanpa ada orang yang mengetahui siapa dirinya dirumah tersebut, akhirnya ia menderita sakit dan tidak bisa bekerja lagi. Mantunya merasa berhutang budi kepada pelayan tuanya yang setia ini sehingga ia memberikan kesempatan untuk menjalankan sisa hidupnya di rumah jompo.

Puluhan tahun ia tidak bisa dan tidak boleh bertemu lagi dengan putri kesayangannya. Uang pension yang ia dapatkan selalu ia sisihkan dan tabung untuk putrinya, dengan pemikiran siapa tahu pada suatu saat ia membutuhkan bantuannya.

Pada tahun lampau beberapa hari sebelum hari Natal, ia jatuh sakit lagi, tetapi ini kali ia merasakan bahwa saatnya sudah tidak lama lagi. Ia merasakan bahwa ajalnya sudah mendekat. Hanya satu keinginan yang ia dambakan sebelum ia meninggal dunia, ialah untuk bisa bertemu dan boleh melihat putrinya sekali lagi. Di samping itu ia ingin memberikan seluruh uang simpanan yang ia telah kumpulkan selama hidupnya, sebagai hadiah terakhir untuk putrinya.

Suhu diluaran telah mencapai 17 derajat di bawah nol dan salujupun turun dengan lebatnya, jangankan manusia anjingpun pada saat ini tidak mau keluar rumah lagi, karena di luaran sangat dingin, tetapi Nenek tua ini tetap memaksakan diri untuk pergi ke rumah putrinya. Ia ingin betemu dengan putrinya sekali lagi yang terakhir kali. Dengan tubuh menggigil karena kedinginan, ia menunggu datangnya bus berjam-jam di luaran. Ia harus dua kali ganti bus, karena jarak rumah jompo tempat di mana ia tinggal letaknya jauh dari rumah putrinya. Satu perjalanan yang jauh dan tidak mudah bagi seorang nenek tua yang berada dlm keadaan sakit.

Setiba di rumah putrinya dlm keadaan lelah dan kedinginan ia mengetuk rumah putrinya dan ternyata purtinya sendiri yang membukakan pintu rumah gedong di mana putrinya tinggal. Apakah ucapan selamat datang yang diucapkan putrinya ? Apakah rasa bahagia bertemu kembali dengan ibunya? Tidak! Bahkan ia ditegor: "Kamu sudah bekerja di rumah kami puluhan tahun sebagai pembantu, apakah kamu tidak tahu bahwa untuk pembantu ada pintu khusus, ialah pintu di belakang rumah!"

"Nak, Ibu datang bukannya untuk bertamu melainkan hanya ingin memberikan hadiah Natal untukmu. Ibu ingin melihat kamu sekali lagi, mungkin yang terakhir kalinya, bolehkah saya masuk sebentar saja, karena di luaran dingin sekali dan sedang turun salju. Ibu sudah tidak kuat lagi nak!" kata wanita tua itu.

"Maaf saya tidak ada waktu, di samping itu sebentar lagi kami akan menerima tamu seorang pejabat tinggi, lain kali saja. Dan kalau lain kali mau datang telepon dahulu, jangan sembarangan datang begitu saja!" ucapan putrinya dengan nada kesal. Setelah itu pintu ditutup dengan keras. Ia mengusir ibu kandungnya sendiri, seperti juga mengusir seorang pengemis.

Tidak ada rasa kasih, jangankan kasih, belas kasihanpun tidak ada. Setelah beberapa saat kemudian bel rumah bunyi lagi, ternyata ada orang mau pinjam telepon di rumah putrinya "Maaf Bu, mengganggu, bolehkah kami pinjam teleponnya sebentar untuk menelpon ke kantor polisi, sebab di halte bus di depan ada seorang nenek meninggal dunia, rupanya ia mati kedinginan!"

Wanita tua ini mati bukan hanya kedinginan jasmaniahnya saja, tetapi juga perasaannya. Ia sangat mendambakan sekali kehangatan dari kasih sayang putrinya yang tercinta yang tidak pernah ia dapatkan selama hidupnya.

Seorang Ibu melahirkan dan membesarkan anaknya dengan penuh kasih sayang tanpa mengharapkan pamrih apapun juga. Seorang Ibu bisa dan mampu memberikan waktunya 24 jam sehari bagi anak-anaknya, tidak ada perkataan siang maupun malam, tidak ada perkataan lelah ataupun tidak mungkin dan ini 366 hari dlm setahun. Seorang Ibu mendoakan dan mengingat anaknya tiap hari bahkan tiap menit dan ini sepanjang masa. Bukan hanya setahun sekali saja pada hari-hari tertentu. Kenapa kita baru bisa dan mau memberikan bunga maupun hadiah kepada Ibu kita hanya pada waktu hari Ibu saja "Mother's Day" sedangkan di hari-hari lainnya tidak pernah mengingatnya, boro-boro memberikan hadiah, untuk menelpon saja kita tidak punya waktu.

Kita akan bisa lebih membahagiakan Ibu kita apabila kita mau memberikan sedikit waktu kita untuknya, waktu nilainya ada jauh lebih besar daripada bunga maupun hadiah. Renungkanlah: Kapan kita terakhir kali menelpon Ibu? Kapan kita terakhir mengundang Ibu? Kapan terakhir kali kita mengajak Ibu jalan-jalan? Dan kapan terakhir kali kita memberikan kecupan manis dengan ucapan terima kasih kepada Ibu kita? Dan kapankah kita terakhir kali berdoa untuk Ibu kita?

Berikanlah kasih sayang selama Ibu kita masih hidup, percuma kita memberikan bunga maupun tangisan apabila Ibu telah berangkat, karena Ibu tidak akan bisa melihatnya lagi.

When Mother prayed, she found sweet rest,
When Mother prayed, her soul was blest;
Her heart and mind on Christ were stayed,
And God was there when Mother prayed!
Our thanks, O God, for mothers
Who show, by word and deed,
Commitment to Thy will and plan
And Thy commandments heed.
A thousand men may build a city,
but it takes a mother to make a home.
No man is poor who has had a godly mother!



CERITA REMAJA

Aku terlahir bukan dari kalangan keluarga kaya, bukan dari keluarga yang memiliki banyak uang. Bisa dibilang keluarga kami ini adalah keluarga tak mampu. Ayahku hanya seorang lulusan SMA yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan ibuku adalah seorang pembantu rumah tangga. Hidupku tidak seberuntung anak-anak lainnya yang terlahir dari keluarga berlimpah harta, yang bisa memiliki apapun seperti yang mereka ingin. Ayah dan ibuku memang tak memiliki banyak uang untukku, tapi mereka memiliki banyak kasih dan sayang, yang selalu mereka berikan untukku. Sama seperti orang tua yang lainnya, mereka ingin aku kelak menjadi orang sukses dan memiliki kebahagiaan yang tidak pernah mereka rasakan.


Keluarga kami memang begitu kesulitan dengan masalah ekonomi, tapi itu bukan sebuah alasan bagi orang tuaku untuk tidak memberikanku pendidikan. Ketika aku berumur 5 tahun mereka menyekolahkanku di sebuah Taman Kanak-kanak yang tak jauh dari rumah. Tak sama dengan teman-teman seusiaku, aku tak pernah diantar atau bahkan ditemani saat aku belajar di sekolah. Aku selalu sendiri saat berangkat atau pulang, hanya saja terkadang ada orang tua temanku yang mau mengantarkanku pulang. Saat ada acara-acara di luar sekolah aku pun selalu sendiri, tanpa ditemani ayah atau ibu.
Aku jarang mendapatkan uang saku dari ibu, ketika yang lain berlarian menuju penjual jajan aku hanya bisa melihat mereka, tanpa bisa merasakan hal yang sama. Ketika mereka dengan lahapnya memakan jajan, aku hanya bisa menelan ludah. Tapi guruku begitu baik, saat ia melihatku berdiam diri tanpa memakan apapun aku selalu diberinya makanan ringan atau bahkan uang.
"Eva, kenapa kamu tidak jajan?" Tanya seorang guru yang menghampiriku.
Tidak Bu, saya tidak diberi uang saku, "jawabku dengan air mata yang menetes.

Nah, ini Ibu punya sedikit uang, sekarang Eva jajan ya, "ucapnya dengan penuh kelembutan. Aku hanya menerima saja pemberian guruku dan berucap terima kasih tanpa berpikir malu untuk menerimanya.
Aku cukup sadar diri dengan semua keadaan ini. Mungkin jika orang tuaku adalah orang kaya aku bisa jajan semauku tanpa harus diberi orang lain. Aku juga takkan seorang diri saat berangkat atau pulang sekolah, dan yang pasti ibuku takkan bersusah payah berangkat subuh pulang maghrib hanya untuk mencari uang.
Setiap aku pulang sekolah, kondisi rumah selalu kosong, tak ada orang dan tak ada juga makanan yang bisa mengganjal perut kosongku. Ibu tak sempat memasak sebelum berangkat kerja, ia membuatkanku makanan ketika ia pulang kerja. Terkadang tetanggaku yang baik hati memberiku nasi dan lauk untuk makan siangku.
Aku selalu ikut ibuku bekerja saat hari libur tiba. Mungkin ini menambah beban ibuku, tapi kuanggap inilah liburanku bersama ibu. Meski harus berjalan berkilo-kilo meter menuju rumah majikan ibuku, menemani ibu bekerja sampai matahari terbenam, aku tak pernah merasa lelah karena ini adalah bahagiaku, bahagiaku saat aku bisa bersama ibuku.
Sayang, apa kamu tidak lelah, apa tidak sebaiknya kamu di rumah saja bermain dengan teman-temanmu? "tanya ibu sembari mengelus rambutku.
Tidak Bu, Eva lebih suka menemani Ibu. "
Tapi kan Eva jadi lelah, harus bangun pagi, berjalan jauh dan pulang sore. "
Tidak apa-apa, Bu, "jawabku dengan tersenyum
Maafkan Ibu, ya Nak. Karena Ibu kamu juga ikut hidup menderita seperti ini, "ucap ibuku yang sedikit meneteskan air mata.
*****
"Ha .. ha ... ha ... ada kelas TK nyasar ke SD, "kata salah satu temanku.
"Iya, kenapa ada anak TK di sini ya?! Haha ... "sahut salah seorang yang baru masuk.
Itulah kata-kata ejekan dari mereka saat hari pertamaku duduk di kelas 1 SD. Wajar mereka mengejekku seperti itu, aku masih mengenakan seragam TK yang sudah kusut, sedangkan teman yang lain mengenakan pakaian, tas, dan sepatu baru.Mendengar ejekan-ejekan mereka semua aku hanya bisa menangis tersedu tanpa ada yang menghampiriku.
Assaalamu'alaikum anak-anak ... "ucap seorang guru yang baru masuk.
Wa'alaikum salam, Bu ... "jawab kami serentak.
Eva, kamu kenapa menangis? "tanya ibu guru kepadaku.
Aku tak bersuara sedikitpun, aku hanya diam dan menangis.
Eva diejek teman-teman yang lain karena Eva masih mengenakan baju TK, dia belum punya seragam SD, Bu ... "jawab seorang murid di pojok depan.
Sudahlah Eva, tidak apa-apa, jangan menangis ya, "ucapnya untuk menenangkanku.
Esok harinya ada seorang wali murid yang datang menghampiriku, ia memberikanku seragam SD bekas, meski bekas tapi ini masih layak pakai.
Alhamdulillaah , aku dapat rezeki, jadi aku tak perlu menambah beban ayah dan ibuku untuk dibelikan pakaian baru, "kataku dalam hati sembari tersenyum.
*****
Tiga tahun berlalu, sekarang aku duduk di kelas 4 SD. Hari-hariku tetap sama dengan yang sebelumnya tak ada yang berbeda dan tak ada yang lebih istimewa. Ibuku masih bekerja menjadi seorang pembantu dengan bekerja dari matahari mulai nampak sampai matahari terbenam diujung barat, sedangkan ayahku lebih sering di rumah karena tak memiliki pekerjaan.
Setiap malam ibuku yang sudah terlalu lelah itu masih sempat menemani ku belajar, dan membantuku mengerjakan tugas-tugas sekolah. Setiap malam menjelang tidur kakiku dipijit, rambutku dielus, pipiku dicium, dan ia selalu menyanyikan lagu untukku sebagai pengantar tidur. Pagi ketika aku akan berangkat sekolah ia sempatkan sedikit waktunya untuk mengucir rambut panjangku. Aku tahu bahwa dia sangat menyayangiku. Begitupun aku, aku sangat menyayanginya lebih dari aku menyayangi ayah.
Tak seperti biasanya, malam ini aku belajar ditemani ayah karena ibu belum pulang juga, padahal jam sudah menunjukan pukul 20.00 WIB.
Assalamu'alaikum ... "ucap ibu yang baru masuk rumah.
Wa'alaikumussalam ... "jawab kami serentak.
Lho ibu, kenapa jam segini baru pulang? "tanya ayah.
Iya, tadi keluarga besar majikan ibu datang, jadi ibu pulangnya agak kemalaman, "jawab ibuku dengan lemas.
Wajah ibu terlihat pucat?! "tanyaku dengan penuh perhatian.
Mungkin ibu hanya lelah, Nak ... "jawab ibuku dengan senyum kecil di bibirnya.
Ya sudah, kita tidur dulu, ini sudah malam, "ucap ayah sembari merapikan buku-buku pelajaran milikku.
Akhirnya kami bertiga beranjak masuk ke kamar untuk beristirahat. Aku masih tidur dengan ayah dan ibuku, tidur di antara mereka begitu terasa hangat. Aku yang sudah mulai terlelap samar mendengarkan percakapan mereka.
Yah, ini di leher ibu ada benjolan kecil, tapi kok agak sakit ya? "tanya ibuku sembari memegang leher bagaian kirinya.
Mungkin itu gondong *) Bu. "
Iya, mungkin juga sih Yah. "
Coba besok kerumahnya mbah Karso, biasanya dia bisa menyembuhkan gondong , ya sudah sekarang tidur saja, "ucap ayah.
Keesokan harinya ibuku tidak berangkat bekerja karena badannya kurang sehat. Seperti yang disarankan ayah, ibu datang kerumah mbah Karso. Mbah Karso ini adalah tetanggaku, dia bukan seorang dukun atau orang pinter yang biasa berhubungan dengan dunia gaib, dia hanya seorang kakek biasa yang memiliki kelebihan menyembuhkan penyakit gondong denagan cara tradisional.
Setelah satu minggu berlalu sakit leher ibuku makin menjadi, benjolan-benjolan kecilnyapun masih tetap ada. Akhirnya ayah mengantarkan ibu ke puskesmas terdekat.
Pak sebaiknya istri Anda dibawa ke rumah sakit saja, karena kami tidak begitu paham dengan penyakit istri Anda ini, kami masih ragu, "ucap seorang dokter.
Ayah mengikuti saran dokter itu untuk membawa ibu ke rumah sakit.
Benjolan di leher istri bapak ini adalah tumor, "kata seorang dokter yang memeriksa ibuku
Innalillahii , "ucap ayah dengan kagetnya.
Ibu hanya menangis saat dokter mengatakan hal itu.
Lalu apa ini bisa disembuhkan, Dok ...? "
Insya Allah bisa, ada dua cara untuk berusaha menyembuhkannya. Yang pertama adalah operasi pengangkatan tumor, dan yang kedua adalah dengan melakukan terapi, yaitu dengan di laser agar tumor tersebut bisa mati dan tidak tumbuh semakin banyak, "terang dokter itu.
Lalu berapa biayanya, Dok?! "
Untuk operasi sekitar 30 sampai 40 juta, sedangkan untuk laser biayanya 5 juta tiap terapi dan ini dilakukan sebanyak 15 kali. "
Ayah dan ibu pulang ke rumah dengan kondisi lemas, aku belum tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku bertanya pada ibu, tapi ia hanya menangis, aku tak berani bertanya lagi. Sorenya ayah menjelaskan kepadaku tentang apa yang sebenarnya terjadi pada ibu. Mendengar penjelasan ayah aku pun hanya bisa menangis tersedu.
"Cobaan apa lagi ini? Kami sudah cukup susah dengan hidup miskin, sekarang Allah menambah beban ini dengan penyakit yang diderita istriku, "kata ayah sambil menangis.
"Mungkin Allah terlalu sayang dengan kita yah, sabar saja, pasti akan ada jalan keluarnya dari masalah ini," jawab ibu yang juga menangis.
*****
Selama tiga bulan ini ibu hanya mengonsumsi obat-obatan yang dibeli di apotek untuk menahan rasa sakitnya. Aku tak tega setiap melihat ibu menangis kesakitan saat penyakitnya kambuh. Sebenarnya kami ingin orang di operasi, tapi apa daya, kami tak akan mampu mencari uang sebanyak itu dalam waktu singkat. Ayahku hanya Lontang-lantung tak pernah pulang membawa uang.
Semakin lama penyakit ibu semakin parah. Hanya obat-obatan yang dijadikan penahan rasa sakitnya untuk sementara. Obat-obatan yang dibeli inipun cukup menghabiskan banyak uang, ayah yang tak memiliki uang terpaksa pinjam sana-sini untuk membeli obat ibu.
Orang tua ibu adalah orang yang cukup kaya, mereka memiliki banyak uang, sehingga mereka ingin ibu dibawa pulang ke Jogja agar mereka bisa merawat ibu dengan layak. Tapi ayah tak menyetujuinya, ayah berjanji membawa ibu ke rumah sakit untuk di operasi. Dengan uang hasil pinjaman akhirnya ibu dioperasi juga.
Kondisi ibu setelah di operasi masih sama, tak ada perubahan. Karena kondisi ibu yang masih sama seperti dulu, akhirnya ayah membawa ibu ke rumah sakit untuk di periksa. Ayah dan ibuku kembali terkejut saat dokter mengatakan bahwa tumor yang ada pada leher ibu belum semuanya terangkat, bahkan tumor itu sekarang tumbuh semakin banyak. Ia menyarankan agar ibu kembali di operasi.
Ayah tak mampu lagi membiayai pengobatan ibu, ia tak memiliki pilihan lain selain mengizinkan mertuanya membawa ibu ke Jogja untuk berobat. Memang berat bagi kami untuk berpisah dengan ibu, meski ini hanya sementara. Tapi tak mengapa jika ini adalah jalan terbaik yang Allah berikan untuk kesembuhan ibu.
Sudah enam bulan lamanya ibu di sana, aku dan ayah baru mengunjunginya tiga kali. Saat kami berkunjung kesana kondisi ibu tidak tentu, adakalanya ia biasa saja seperti orang sehat, tapi terkadang juga mengis kesakitan. Nenek dan kakek tidak hanya membawa ibu berobat ke rumah sakit, tapi mereka juga mencari pengobatan alternatif untuk ibu. Tapi hasilnya nihil, sakit ibu tak kunjung sembuh.
Terakhir aku berkunjung ke Jogja ibu mengajakku berjalan-jalan dengan ayah, kakek, nenek dan keluarga besar di sana.Sepertinya ibu sangat bahagia saat bersama kami, ini terlihat dari senyumnya. Meski ia sedang sakit tapi ia tak menunjukan sakitnya di depanku, mungkin ia tak ingin melihatku bersedih.
Seperti biasa, saat aku akan pulang ke Pekalongan ibu mengecup keningku sembari mengelus rambutku yang terurai panjang.
"Nak, kamu belajarnya yang rajin ya, jangan jadi anak pemalas, harus jadi pekerja keras. Kamu harus nurut apa kata ayah, dan jangan jadi anak manja, "kata ibu lembut yang meneteskan air mata sembari mengelus rambutku.
"Iya Bu, Eva akan belajar giat, supaya bisa jadi orang sukses dan bisa membahagiakan ayah dan ibu," kataku sammbil menatap ibu.
Hampir satu tahun ibu di sana dan sudah enam bulan aku tak menjenguk ibu ke Jogja, kami hanya berkomunikasi lewat telepon seluler. Setiap kali aku bertanya pada ibu tentang keadaannya pasti ia selalu menjawab bahwa ia baik-baik saja.Tapi setiap hari ayah selalu gelisah setelah mendapat kabar dari keluarga di sana. Entah apa yang sebenarnya terjadi, tak ada yang mau berbicara jujur ​​padaku.
*****
Besok aku ada kegiatan perkemahan, ini adalah kemah pertamaku dan aku terpilih menjadi ketua regunya. Ini cukup membuatku bahagia. Saat aku sedang mempersiapkan peralatan kemahku tiba-tiba ayah mengajaku untuk ke Jogja, katanya Ibu sangat merindukanku. Sehabis shalat maghrib kami langsung menuju ke Jogja. Larut malam kami sampai di sana.Setiba di sana ayah langsung menangis di depan sebuah keranda yang ditempatkan diteras masjid. Aku tak tau apa-apa, ku ikuti langkah ayah perlahan, melihat siapa yang ada dalam peti mati itu. Saat keranda di buka ternyata itu adalah ibuku. Ia sudah terbungkus kafan dengan rapi, wajahnya terlihat sangat cantik dengan senyumnya.
Tak ada yang bisa kuperbuat. Menangis ... menangis ... dan terus menangis ...! Hanya itu yang aku lakukan di depan jenazah ibuku. Aku tak percaya saat ibuku sudah tiada, Allah begitu menyayanginya Ia membawa ibu pulang kesisinya, mungkin karena Ia tak ingin melihat ibuku menderita. Enam bulan lalu, adalah hari terakhirku bersama ibu. Dan kecupan itu, adalah kecupan terakhir untukku. (*)
Kosakata: gondong : semacam benjolan (bengkak) di sekitar leher, terasa pegal dan nyeri.